Selasa , 1 Juli 2025
Ketua MUI Kabupaten Pulag Pisau, H Suriyadi

Ini Fatwa MUI Pusat Lengkap Soal Vaksin Sinovac, Umat Muslim tak Perlu Was-was

NUSAKALIMANTAN.COM, Pulang Pisau – MUI Pusat telah mengeluarkan fatwa lengkap tentang kehalalan dan kesucian vaksin Covid-19 dari Sinovac Life Sciences Co. Ltd. China dan PT. BIO FARMA (Persero) yang sudah didistribusikan ke seluruh Indonesia.

Berbagai pertimbangan melatarbelakangi terbitnya Fatwa MUI Pusat Nomor 02 Tahun 2021 tersebut. Sejumlah dalil syar’i yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist dicantumkan secara ekspilisit di dalam Fatwa MUI Pusat tersebut.

Ketua MUI Kabupaten Pulang Pisau, H Suriyadi mengatakan, Fatwa MUI Pusat tentang kehalanan dan kesucian vaksin Covid-19 Sinovac sudah diterbitkan. “Bagi umat muslim agar tidak perlu lagi was-was mengkhawatirkan kehalalan vaksin Sinovac ini, sudah ada fatwa lengkapnya,” kata dia, Selasa (12/1/2021).

Baca juga : Izin EUA BPOM Keluar, Vaksin Covid-19 Siap Digunakan di Pulang Pisau

H Suriyadi juga membagikan teks lengkap fatwa MUI Pusat dalam bentuk file PDF, berikut fatwa lengkapnya ; Menimbang : a. bahwa wabah Covid-19 masih menjadi ancaman kesehatan, dan di antara ikhtiar untuk mencegah terjadinya penularan wabah tersebut adalah melalui vaksinasi;

Selanjutnya poin b. bahwa produk obat dan vaksin yang akan dikonsumsi oleh umatIslam wajib diperhatikan dan diyakini kesucian dan kehalalannya; c. bahwa untuk menjamin kehalalan tersebut, MUI menetapkan fatwa tentang kehalalan bagi setiap produk yang telah memenuhi syarat;

Kemudian d. bahwa ada permohonan sertifikasi halal dari PT. Bio Farma (Persero) terhadap produk vaksin Covid-19 yang diproduksi oleh Sinovac Life Sciences Co. Ltd. China dan PT. Bio Farma (Persero); e. bahwa untuk kepentingan tersebut, Komisi Fatwa MUI bersama LPPOM MUI melakukan audit yang hasil auditnya dilaporkan dalam rapat Komisi Fatwa MUI untuk ditetapkan status hukumnya;

Poin f. disebutkan bahwa untuk itu, Komisi Fatwa MUI perlu menetapkan fatwa tentang produk Vaksin Covid-19 dari Sinovac Life Sciences Co. Ltd. China dan PT. Bio Farma (Persero) sebagai pedoman bagi pemerintah, umat Islam dan pihak-pihak lain yang memerlukannya.

Sejumlah dalil Alqur’an dikemukakan dalam fatwa tersebut, antara lain, Firman Allah SWT, yang antara lain berbunyi : ”Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Baqarah [2]: 173).

Ayat lain menyebutkan, “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu memakan hewan) yang disembelih untuk berhala…” (QS. Al-Maidah [5]: 3)

Pada ayat lain juga disebutkan, “Katakanlah Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi, karena susungguhnya semua itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-An’am [6]: 145)

Dalil yang bersumber dari al hadits juga dicantumkan dalam fatwa lengkap MUI Pusat tersebut, antara lain, “Berobatlah, karena Allah tidak membuat penyakit kecuali membuat pula obatnya selain satu penyakit, yaitu pikun (tua)”. (HR. Abu Daud dari Usamah bin Syarik).

Kemudian “Allah telah menurunkan penyakit dan obat, serta menjadikan obat bagi setiap penyakit; maka, berobatlah dan janganlah berobat dengan benda yang haram.” (HR. Abu Daud dari Abu Darda).”

Hadist lainnya, “Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan (pula) obatnya.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah). Selanjutnya hadits yang berbunyi, “Rasulullah SAW ditanya tentang tikus yang jatuh ke dalam keju. Beliau SAW menjawab: ”Jika keju itu keras (padat), buanglah tikus itu dan keju sekitarnya, dan makanlah (sisa) keju tersebut; namun jika keju itu cair, maka janganlah kamu memakannya” (HR. Ahmad dari Abu Hurairah).

Hadits berikutnya yakni, “jika air berjumlah dua kulah, maka tidak mengandung kotoran/najis.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah dari Abdullah Ibnu Umar. Hadis ini dianggap shahih oleh Ibnu Huzaimah, al-Hakim, dan Ibnu Hibban).

Dan hadits terakhir, “Sesungguhnya air tidak ada sesuatu yang menajiskannya, kecuali jika berubah bau, rasa dan warnanya”. (HR. Ibnu Majah dari Abi Umamah al-Bahili).

Tidak hanya itu, fatwa lengkap MUI Pusat ini juga memuat sejumlah Kaidah-kaidah Fikih, antara lain, seperti “Kemudaratan harus dihilangkan”. Atau “Perintah terhadap sesuatu juga berarti perintah untuk melaksanakan sarananya”,  “Perbuatan yang hanya dengan perbuatan itu suatu perintah wajib menjadi sempurna maka perbuatan tersebut hukumnya wajib”, “Mencegah lebih utama dari pada menghilangkan” “Memikul/menanggung kemadharatan yang tertentu demi mencegah (timbulnya) kemadharatan yang merata”.

Adapun Pendapat para ulama, contohnya antara lain ; Pendapat Imam al-Zuhri dalam kitab Syarah Shahih al-Bukkahri karya Ibnu Baththal (Maktabah Syamilah, 6/70) yang menegaskan ketidakbolehan berobat dengan barang najis: “Imam Zuhri berkata: ”Tidak halal meminum air seni manusia karena suatu penyakit yang diderita, sebab itu adalah najis; Allah berfirman: ‘…Dihalalkan bagimu yang baik-baik (suci)…’ (QS. Al-Maidah[5]: 5). Dan Ibnu Mas’ud (w 32 H) berkata tentang sakar (minuman keras), Allah tidak menjadikan obatmu pada sesuatu yang diharamkan atasmu”.

Pendapat Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tuhfatu al- Muhtaj juz 1 halaman 290 yang menyebutkan kenajisan babi dan larangan pemanfaatannya dalam kondisi normal, sebagai berikut: Dan (barang najis berikutnya adalah) babi, karena kondisinya lebih buruk dari anjing. Hal ini karena tidak diperbolehkan memanfaatkan babi dalam kondisi normal (halat al-ikhtiyar) seketika itu meski dapat dimanfaatkan, maka tidak datang seperti halnya serangga. Juga karena dianjurkan untuk membunuhnya meski tidak membahayakan.

Kemudian Pendapat Imam al-Nawawi dalam kitab Raudlatu al-Thalibin wa Umdatu al-Muftiin (1/37) yang menjelaskan bahwa sesuatu yang tidak diyakini kenajisan dan atau kesuciannya, maka ditetapkan hukum kesucian sesuai hukum asalnya.

Pendapat Imam al-Thabary dalam kitabnya “tahdzib al-atsar” (2/717) menjelaskan bahwa air sedikit dapat menjadi najis jika tercemplung ke dalamnya sesuatu yang najis, walaupun tidak berubah warna, rasa, dan baunya. Sedangkan air yang banyak tidak menjadi najis karena adanya najis yang sedikit, dan pendapat al-Qasthalani dalam kitab Irsyadu al-Sari (7/96) yang menjelaskan bahwa berobat karena sakit dan menjaga diri dari wabah adalah wajib.

Selain itu juga dicantumkan beberapa fatwa MUI Pusat sebelumnya serta Laporan dan Penjelasan Hasil Audit Tim Auditor LPPOM MUI bersama Komisi Fatwa MUI ke Sinovac Life Sciences Co. Ltd. China dan ke PT. Bio Farma (Persero) tentang proses produksi dan bahan yang merupakan titik kritis sebagai berikut: a. Vaksin diproduksi dengan platform virus yang dimatikan. b. Fasilitas produksi hanya digunakan untuk produksi vaksin Covid-19.

Kemudian poin c. Produksi vaksin mencakup tahapan penumbuhan Vero Cell (sel inang bagi virus), penumbuhan virus, inaktifasi virus, pemurnian (purifikasi), formulasi dan pengemasan. d. Sel vero merupakan sel diploid yang digunakan sebagai inang virus. Sel ini diperoleh dari sel ginjal kera Hijau Afrika (African Green Monkey) dari hasil penelitian tahun 1960an dan terbukti aman untuk berfungsi sebagai inang virus dan telah disetujui oleh WHO.

Dan poin e. Media pertumbuhan Vero Cell dibuat dari bahan kimia, serum darah sapi, dan produk mikrobial. Produk mikrobial yang digunakan berasal dari mikroba yang ditumbuhkan pada media yang terbuat dari bahan nabati, bahan kimia, dan bahan mineral.

Dari berbagai pertimbangan matang melalui kajian yang mendalam terhadap vaksin Covid-19 Sinovac ini, MUI Pusat menyimpulkan dan menetapkan, Pertama : Ketentuan Umum Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan Vaksin Covid-19 adalah vaksin Covid-19 yang diproduksi oleh Sinovac Life Sciences Co. Ltd. China dan PT. Bio Farma (Persero) dengan nama produk yang didaftarkan sebanyak tiga nama, yaitu (1) CoronaVac, (2) Vaksin Covid-19, (3) Vac2Bio.

Kedua : Ketentuan Hukum, 1. Vaksin Covid-19 produksi Sinovac Life Sciences Co. Ltd. China dan PT. Bio Farma (Persero) hukumnya suci dan halal. 2. Vaksin Covid-19 produksi Sinovac Life Sciences Co. Ltd. China dan PT. Bio Farma (Persero) sebagaimana angka 1 boleh digunakan untuk umat Islam sepanjang terjamin keamanannya menurut ahli yang kredibel dan kompeten.

Ketiga : Ketentuan Penutup, 1. Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya. 2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini. Fatwa ini ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 27 Jumadil Awal 1442 H, demikian isi Fatwa MUI Pusat lengkap. (nk1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *