Penulis : Arif Rahman Rambe, S.Pd., M.Pd.
Indonesia merupakan negara yang mempunyai beraneka ragam budaya sebagai kekayaan nasional yang sangat berharga. Salah satu kekayaan tersebut adalah cerita rakyat setempat. Cerita rakyat masuk dalam kategori folklor dan menjadi bagian dari fenomena budaya tiap bangsa. Kebertahanannya terus dibuktikan, eksistensinya melintasi setiap peradaban hingga era transisi penaklukan revolusi industri 5.0 di zaman ini. Transformasi di dalamnya pun menjadi wujud nyata bahwa cerita rakyat menempati fungsinya secara nyata. Tiap-tiap cerita rakyat memiliki kemiripan maupun perbedaan versi yang beragam.
Cerita yang sering muncul dan melegenda di Indonesia ialah cerita dengan tokoh naga. Mahin dalam artikel yang berjudul “Menunggu Naga Di Sungai Martapura” http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2009/11/menunggu-naga-di-sungai-martapura.html mengungkapkan bahwasanya naga menyimpan pesona ganda bagi masyarakat yang akrab dengan sungai, rawa dan danau. Pada satu sisi, ia dilihat sebagai makhluk perkasa, gaib, sakti, pelindung, penjaga, pemberi kesuburan dan rezeki. Namun di sisi lain, naga juga dilihat sebagai monster buas yang menakutkan. Makhluk ganas ini bisa memangsa manusia ketika lengah di air, pendatang bala bencana banjir atau kegagalan panen. Berdasarkan kekaguman atau ketakutan, motif naga seringkali muncul dalam keseharian mereka, misalnya, di acara festival, anyaman tikar, motif pakaian, ukiran pada bangunan maupun ritual adat.

Pernyataan di atas dapat dibuktikan dari beberapa cerita seperti Naga Berkepala Tujuh (Sumatra Selatan), Asal Mula Danau Kerinci (Jambi), Beungong Meulu dan Beungong Peukeun (Aceh), Terbentuknya Telaga Sarangan (Kabupaten Magetan), Dang Gedunai Asal Mula Naga di Laut Lepas (Riau), Si Rintik dan Si Ribut (Kalimantan Selatan), dan Datu Naga (Kalimantan Selatan).
Mahin menambahkan, bagi orang Kalimantan, makhluk berwujud ular naga (naga) merupakan binatang mitologis yang selalu hidup di imajinasi mereka. Sang naga dibayangkan sebagai reftil raksasa yang lingkar tubuhnya bisa sebesar batang kelapa, drum aspal atau lebih besar lagi. Laut, lubuk sungai yang dalam, goa di bukit batu dan hutan yang gelap selalu dihubungkan dengan kediaman makhluk melata besar ini.
Cerita tentang leluhur yang menjelma menjadi naga juga terdapat di kalangan orang Dayak Ngaju di Kalteng. Di Tumbang Jakolok, Sungai Katingan, terdapat ceritra tentang Naga Andoh. Konon, seseorang yang bernama Andoh berubah menjadi naga setelah memakan sepotong kayu yang jatuh dari pohon beringin. (Schärer 1963).
Di jalur Sungai Kahayan dikenal pula ceritra seorang bernama Tambing yang berubah menjadi Naga (Ugang tt). Tapi sayang, riwayat Naga Nusa Tambing berakhir tragis. Ia meninggal dunia karena tanpa sengaja menyambar ekornya sendiri. Ia mengira ekornya sendiri itu adalah musuh yang sedang ditunggu. Bangkai naga yang membunuh dirinya sendiri ini kemudian mengapung di tengah Sungai Kahayan. Lama-kelamaan ditumbuhi semak dan pepohonan dan akhirnya menjadi pulau bernama Pulau Nusa Tambing. Bila bepergian ke Palangka Raya, setelah Desa Pilang akan melewati Tumbang Nusa. Di desa itulah terdapat Pulau yang dimaksud.
Narasi lokal-tradisional di atas, sedikit banyak memberi beberapa informasi. Ada kemungkinan di masa itu, cerita sosok fenomenal tersebut dijadikan sebagai alat politik kekuasan atau legitimasi. Seperti contoh, naga dalam khazanah lokal merupakan simbol penguasa Alam Bawah Air. Naga ada kaitannya dengan leluhur yang gaib. Mereka tidak jauh dari anak cucunya, bisa mendatangkan rezeki dan berkat, juga bala bencana.
Jika kita pahami dengan saksama, narasi di atas menunjukkan manifestasi sang tokoh fenomenal berwujud naga sebagai simbol kekuasaan politik, hingga masuk dalam ranah perlambangan kekuasaan yang bersifat turun temurun dan tidak berkesudahan.
Terlepas dari fungsi dan unsur semiotik serta semantik yang terkandung dalam cerita rakyat tersebut, perlu disadari bahwa tradisi yang lahir dan berkembang di Indonesia merupakan salah satu ciri khas dan identitas suatu bangsa. Sangat disayangkan apabila masyarakat bersikap acuh dan mengabaikan keberadaan tradisi lisan. Jika keadaan seperti ini berlangsung terus-menerus, dapat dipastikan tradisi yang dititipkan dari nenek moyang akan mengalami involusi bahkan binasa seiring berjalannya waktu sehingga tidak akan ada catatan sejarah yang berarti. (ARR)