NUSAKALIMANTAN.COM, Banjarmasin – Penelusuran Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Pulang Pisau yang diketuai Ustadz H Suriyadi berlanjut guna mengungkap misteri keberadaan Kitab Barencong dengan mendatangi seorang ulama sepuh di bilangan Desa Dalam Pagar, Kecamatan Martapura Timur, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan.
Pada Sabtu pagi (28/8/2021), usai mengunjungi Tuan Guru H Munawar Ghazali di Kampung Melayu Martapura, rombongan bergeser ke Desa Dalam Pagar bertemu ulama sepuh yakni Tuan Guru H. Abdul Muin Bin H Bahrum. Beliau juga adalah zuriat Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari atau Datu Kalampayan.
Dalam diskusi singkat dengan Tuan Guru H Abdul Muin yang juga guru dari Abah Guru Bahaur (Guru Adi) ini, setelah ditanyakan tentang Kitab Barencong beliau menyampaikan wallahu a’lam, dia mengaku tidak tahu dan tidak pernah melihat serta tidak pernah diajarkan tentang Kitab Barencong.
Menurutnya tidak mudah dan sembarangan bagi seorang guru boleh dan bisa menyampaikan tentang ilmu hakekat ketuhanan. Seorang guru tersebut harus memenuhi persyaratan yakni menjadi seorang guru murabbi Mursyid. Saat ini sangat langka guru yang bisa menjadi murabbi Mursyid tersebut.
“Syarat menjadi seorang Murabbi Mursyid diantara adalah menguasai cabang-cabang ilmu agama seperti ilmu bahasa Arab sebagai dasar memahami sumber utama hukum agama Islam yaitu Alquran dan Hadits, memahami ilmu tafsir Alquran dan ilmu hadits,” ujar beliau.
Baca juga : Penelusuran MUI Pulpis Mengungkap Misteri Kitab Barencong (Bag-1)
Kemudian lanjutnya, mengetahui tentang ilmu ketauhidan dan ilmu hakekat ketuhanan serta telah menjalani serta merasakan pengalaman spiritual. “ Juga mengetahui 10 sifat buruk di hati dan telah bersih hatinya dr sifat2 tersebut serta mengetahui 10 sifat baik di hati dan telah menanamkan sifat-sifat tersebut di dalam hatinya,” ucap Tuan Guru H Abdul Muin.
Seorang guru yang Murabbi Mursyid, imbuhnya, tidak akan menyampaikan ilmu tentang ketuhanan kepada sembarang orang. “Selain itu seorang guru yang mengajarkan ilmu hakekat, hatinya selalu terhubung dengan Rasulullah. Jadi kalau orang belum pernah mimpi bertemu Rasulullah maka orang tersebut tidak layak mengajarkan ilmu hakekat,” sebut ulama sepuh ini.
Selanjutnya perjalanan menelusuri misteri Kitab Barencong di Desa Dalam Pagar Martapura beralih ke Tuan Guru H Muhammad Afif bin Mursid. Beliau juga salah seorang zuriat dari jalur cicit Datu Kalampayan yakni Datu Landak yang berkubah di Kalampayan dekat kubah Datu Kalampayan, sekaligus salah satu murid dari Abah Guru Sekumpul.
Menurut pendapat pribadi Tuan Guru H Muhammad Afif, berdasarkan ilmu pengetahuan yang ada pada beliau menyimpulkan, pada dasarnya Kitab Barencong itu tidak ada yang tahu keberadaannya, baik kitab asli maupun salinannya.
“Kalau kitab yang beredar itu kemungkinan kitab nukilan, sedangkan Kitab Barencong yang asli menurut pendapat pribadi saya tidak ada yang mengetahui pasti keberadaannya, dan tidak ada satu pun keterangan dari zuriat Datu Kalampayan siapa yang memegang kitab tersebut,” kata Tuan Guru HM Afif.
Diterangkan dia, kitab nukilan ini tidak bisa dipelajari dan bisa menyesatkan, isinya memuat tentang kisah perjalanan hidup seorang yang ingin mencapai maqam ma’rifat, dan biasanya ada tulisan di belakang buku tersebut dari penyusun. Serta biasanya urutannya tidak sistematis, ujarnya.
Selain itu, sambungnya, kitab nukilan ini tidak boleh dipejari sendiri tanpa guru. “Orang-orang alim dahulu menulis kitab nukilan sambil musyahadah, sehingga setiap orang memiliki pengalaman spiritual yang berbeda-beda tergantung dari jalur mana dimulai perjalanannya menuju ma’rifat, sehingga kitab-kitab ma’rifat tidak bisa dipelajari kecuali kepada orang yang menyusun kitab itu sendiri,” kata Tuan Guru Muhammad Afif.
Kata beliau, Ilmu itu membawa rahmatan dan bukan sebaliknya menimbulkan kegaduhan apalagi terjadi pro-kontra diantara masyarakatnya. “Saya menyarankan lembaga keagamaan seperti MUI dan Kemenag memberikan imbauan kepada masyarakat agar berhati-hati dengan pengajian seperti ini,” ungkapnya.
Beliau juga menyarankan agar masyarakat mematangkan terlebih dahulu ilmu syariat, karena ilmu hakikat tidak wajib dipelajari oleh masyarakat jika tidak ada guru yang mursyid. “Di zaman Rasulullah belajar ilmu tauhid itu memang sebelum perintah syariat dijalankan, karena pengikut Rasulullah adalah orang-orang jahiliyah, sehingga perlu menuntut ilmu tauhid untuk memperkokoh keyakinan terhadap Islam. Sedangkan sekarang ini kita semua adalah keturunan Islam yang sejatinya sudah tertanam tauhid itu sejak kecil karena dipengaruhi oleh lingkungan dan pelajaran di sekolah. Sehingga menurut saya saat ini umat Islam lebih tepat mematangkan syariat terlebih dahulu sebelum belajar ilmu hakikat,” papar Tuan Guru H Muhammad Afif. Bersambung… (tim)