NUSAKALIMANTAN.COM, Pulang Pisau – Upaya penangkapan buaya muara di DAS Sei Sebangau, Desa Paduran Sebangau, Kecamatan Sebangau Kuala, Kabupaten Pulang Pisau yang memangsa warga setempat beberapa waktu lalu, hingga kini belum membuahkan hasil.
Seorang warga Desa Paduran Sebangau, Amang Itak, memberikan saran kepada aparat Babhinsa TNI dan Polsek Sebangau Kuala agar dilaksanakan ritual adat di muara sungai Sebangau, supaya buaya tidak memangsa warga lagi.
Menurut Amang Itak, upacara adat dengan mengorbankan seekor kambing ditambah syarat-syarat lainnya untuk buaya tersebut pernah dilakukan 15 tahun yang lalu ketika ada warga yang menjadi korban mangsa buaya muara Sebangau.
“Sekitar tahun 2014 atau 15 tahun lalu kita pernah melaksanakan ritual adat untuk memberi makan buaya di muara sungai Sebangau ini dengan mengorbankan seekor kambing berwarna putih sesuai permintaan si buaya, mungkin ini perlu dilakukan lagi supaya buaya di sini tidak memangsa manusia,” kata Amang Itak saat dihubungi NUSAKALIMANTAN.COM, Kamis (18/2/2021).
Amang Itak menilai, pemasangan pancing buaya tidak efektif untuk menghentikan aksi buaya mengganggu manusia. Sebab menurut Amang Itak, hal itu hanya akan memperkeruh permusuhan antara buaya dan manusia.
“Iya kalau buaya yang tertangkap itu adalah buaya yang memangsa korban kemarin, kalau bukan berarti kan sia-sia,” ucap Amang Itak seraya menceritakan bahwa kisah salah tangkap buaya itu pernah terjadi beberapa lalu di Sebangau Kuala. Buaya yang tertangkap bukan buaya yang memangsa warga, tetapi buaya yang lain, dibuktikan saat perut buaya dibelah tidak ditemukan organ manusia, hanya beberapa tulang belulang kera dan binatang lainnya.
Dikisahkan Amang Itak, menurut legenda, cerita orang-orang tua dahulu, di Muara Sungai Sebangau ini ada seekor raja buaya berwarna putih yang menjadi penunggu muara sungai Sebangau. “Nah, kita sajikan korban berupa binatang yang disukai oleh raja buaya putih tersebut, kalau dulu seekor kambing putih,” ujar Amang Itak lagi.
Dijelaskannya, cara memberikan korban berupa binatang ternak kepada raja buaya tersebut bisa dilakukan oleh seorang ahli yang dipercaya masyarakat untuk melakukan ritual adat. “Saya punya paman di Sei Tewu yang bisa melakukan itu, beliau yang tahu caranya, karena beliau lah dulu yang melakukan ritual adat 15 tahun lalu di muara sungai Sebangau ini,” cerita Amang Itak.
Ditegaskannya lagi, bahwa upaya menangkap buaya pemangsa manusia tidak efektif menghentikan aksi buaya mengganggu manusia. “Sebab ditangkap satu ekor, nanti buaya yang lain berontak, mungkin akan ada puluhan buaya lagi yang muncul dan mengganggu manusia, mereka tidak bisa dimusuhi, tapi bagaimana caranya kita bisa hidup berdampingan dengan mereka, apalagi buaya muara itu kan adalah satwa yang dilindungi Undang-undang,” ungkap Amang Itak.
Kendati demikian Amang Itak mengaku prihatin dengan warga yang beberapa waktu lalu diduga hilang dimangsa buaya muara DAS Sei Sebengau. “Kita tentu prihatin, tapi mau bagaimana lagi, semakin kita musuhi buaya itu akan semakin banyak korban, lebih baik kita berteman saja agar mereka tidak mengganggu manusia lagi,” ujarnya.

Kapolsek Sebangau Kuala Ipda Bimo Setyawan kepada NUSAKALIMANTAN.COM menyebut saat ini masih dilakukan upaya penangkapan buaya dengan menggunakan pancing atau perangkap buaya.
“Yang jelas anggota Polsek, dan Babhinsa TNI serta BKSDA Kalteng selalu melakukan monitoring terhadap kondisi di lapangan, termasuk memantau tiga titik pancing yang dipasang di lokasi kejadian untuk menangkap buaya pemangsa warga di DAS Sei Sebangau,” kata Kapolsek, Kamis (18/2/2021).
Selain itu, aparat Polsek Sebangau Kuala dan Babhinsa TNI juga tengah berupaya untuk mencari sisa potongan tubuh warga yang diduga dimangsa buaya beberapa waktu lalu.
Ditanya tanggapannya atas saran warga agar dilakukan ritual adat, supaya buaya tidak mengganggu manusia lagi, Kapolsek Bimo mengaku akan terbantu jika memang warga bisa melakukan ritual adat agar buaya tidak lagi menganggu manusia.
“Kalau memang ada cara agar buaya di sungai Sebangau tidak mengganggu manusia lagi dengan cara melaksanakan ritual adat, kita setuju saja karena mungkin itu bisa membantu juga,” ungkap Kapolsek Bimo Setyawan.
Sementara Kades Paduran Sebangau, Bahtiar menanggapi usulan warga tentang ritual adat tersebut akan dikoordinasikan dengan Kapolsek, Damang dan lainnya. “Namun memang kita sudah berupaya mencari orang yang benar-benar pawang buaya, yang bukan pa’aliran (istilah penangkap buaya), namun belum ketemu,” kata Kades Bahtiar.
Menurut Kades pawang yang sebenarnya bisa memanggil buaya yang bersalah tersebut untuk ditangkap. “Kalau dia menangkap buaya yang bukan memangsa warga, itu namanya bukan pawang buaya yang sebenarnya,” kata Kades lagi
Dia menceritakan bahwa ada seorang warga Bahaur yang mengaku pawang buaya tetapi meminta jaminan seandainya yang tertangkap bukan buaya yang bersalah. “Kami menolak, karena saya yakin itu bukan pawang buaya yang sebenarnya, sebab jika dia benar-benar pawang pasti bisa memanggil buaya yang bersalah tersebut,” bebernya.
Kades juga mengaku sempat menyaksikan kemunculan buaya saat melintas di lokasi kejadian warga dimangsa buaya beberapa waktu lalu. “Saya yakin itu buaya yang memangsa warga, keberadaannya pasti tidak jauh dari lokasi kejadian, oleh sebab itu kita tunggu dalam 3-4 hari ini mudahan bisa tertangkap buaya tersebut,” ucap Kades.
Dia juga mengimbau agar warga yang kebetulan melintasi sungai-sungai Sebangau untuk menahan diri tidak mengganggu buaya yang muncul ke permukaan air. Seperti melempar atau mengganggu buaya tersebut. Menurut kades buaya tidak akan menganggu kalau dia tidak diganggu.
Dalam percakapan beberapa hari sebelumnya dengan media ini, Kades Bahtiar menceritakan kisah mistis buaya muara Sebangau, berawal dari 10 tahun lalu ada seorang warga pencari ikan dari Kalsel menangkap seekor anak buaya yang ditemukannya di Sungai Sebangau.
“Anak buaya itu setelah ditangkap, dipotong kakinya dan ditusuk matanya oleh nelayan pencari ikan asal Kalsel itu. Berselang beberapa bulan kemudian, hal serupa terjadi pada warga tersebut, ia juga dimangsa buaya dengan kondisi yang sama dengan anak buaya itu,” kata Kades seraya menjelaskan bahwa kisah lama itu sudah banyak diketahui orang.
Kades mengakui ada beberapa warga yang menyarankan agar dilaksanakan ritual adat memberi makan buaya tersebut dengan seekor kambing agar buaya tidak mengganggu warga lagi, terutama warga nelayan pencari ikan.
“Kita tunggu dulu aparat dan BKSDA Kalteng dalam usaha menangkap buaya dengan menggunakan perangkap, mudah-mudahan membuahkan hasil, nanti baru kita pikirkan cara lainnya,” kata Kades. (nk-1)