NUSAKALIMANTAN.COM, Jakarta – Tekanan terhadap masyarakat Dayak terus meningkat yang mengancam keberlanjutan kehidupan mereka. Bagaimana tidak, berbagai kebijakan pemerintah pusat seperti larangan membuka lahan pertanian dengan cara membakar tidak diperbolehkan, padahal pola membakar lahan merupakan bagian dari kearifan lokal masyarakat adat Dayak yang dari dahulu sudah melakukan pola tersebut dengan kadang atau lahan berpindah-pindah
Tak hanya permasalahan membakar lahan, larangan mendulang emas secara tradisional atau sekedar mengambil kayu di hutan secara terbatas untuk sumber penghidupan sehari-hari pun ada aturan yang membuat masyarakat adat Dayak tak banyak berbuat.
Padahal, hal tersebur sangat dibutuhkan lapiasan masyarakat adat yang seyogyanya menggerus sumber penghidupan masyarakat adat Dayak.
Akibat hal itu, fakta lapangan berbicara tentang fenomena “paman, yaitu dimana para ibu-ibu Dayak harus menunggu pedagang keliling dari luar desa atau kelurahan warga untuk membeli kebutuhan sehari-hari dari paman tadi yang menjual berbagai jenis ikan, sayur mayur, bumbu atau rempah-rempah lainnya.
Fenomena ini tentu sangat memprihatinkan bagi kehidupan masyarakat adat Dayak yang alamnya kaya akan sumber pangan.
Bahkan fenomena tersebut lebih memprihatinkan dan semakin mengenaskan jika merujuk pada data Lembaga Perempuan Dayak Nasional (LPDN) yang menyebutkan bahwa saat ini kepemilikan lahan produktif oleh masyarakat Dayak Kalimantan Tengah (Kalteng) ternyata sangat minim, yakni hanya seluas 0,54 persen.
Fakta ini tentu sangat ironis bagi masyarakat adat Dayak, dengan kenyataan bahwa Provinsi Kalimantan Tengah adalah provinsi yang sangat kaya dengan sumber daya alam, seperti hutan, tambang, perikanan sungai, dengan segala hasil ikutannya.
Dipaparkan Dr Sonny Keraf, salah seorang panelis dalam diskusi Panel yang diselenggarakan LPDN, dalam latar tekanan kehidupan masyarakat adat Dayak seperti itu, Program Perhutanan Sosial dari Pemerintah dapat menjadi salah satu solusi.
Hanya saja, lanjutnya, Perhutanan Sosial kiranya tidak berhenti sekedar bagi-bagi lahan. Program Perhutanan Sosial perlu diintegrasikan dengan Program Pemberdayaan Masyarakat, khususnya di dalam dan di sekitar hutan.
“Kelompok masyarakat di dalam dan di sekitar hutan perlu dibekali dengan keterampilan dan kemampuan produktif dalam memanfaatkan lahan Perhutanan Sosial secara berdaya guna dan produktif. Program Pemberdayaan Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan untuk memanfaatkan lahan Perhutanan Sosial kiranya dapat menjadi salah satu solusi ancaman keberlanjutan pemenuhan kebutuhan masyarakat adat Dayak, khususnya kebutuhan pangan,” ungkap Sonny Keraf.
Ia (Sonny Keraf) menegaskan bahwa dengan bekal kemampuan produktif mengolah lahan Perhutanan Sosial dengan berbagai aktivitas ekonomi produktif seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan budidaya ikan, masyarakat adat Dayak tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan pangannya, melainkan juga sekaligus dapat merawat hutan yang masih tersisa, merehabilitasi lahan kritis, sambil tetap menjaga kearifan budaya mereka.
“Kalau tidak akan hutan habis, masyarakat lokal tersingkir dan bergantung pada pemenuhan kebutuhan dari luar. Jadi perhutanan sosial tidak sekadar bagi-bagi lahan yang pada akhirnya juga menyingkirkan masyarakat dari keterkaitannya dengan hutan dan sumber daya lokal,” sebut Sonny Keraf.
Lembaga Perempuan Dayak Nasional (LPDN), di bawah organisasi Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) melihat peluang pemanfaatan Program Perhutanan Sosial dengan mengembang Sekolah Lapang bagi perempuan dan kaum muda Dayak. Melalui Sekolah Lapang LPDN, para peserta dibekali dengan pelatihan dan pendampingan dalam berbagai aktivitas ekonomi produktif seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan budidaya ikan.
Dengan bekal kemampuan produktif ini, lebih lanjut, beber Sonny Keraf, mereka dibantu untuk memperoleh sumber pembiayaan bagi aktivitas ekonomi produktifnya baik melalui Koperasi milik LPDN ataupun sumber pendanaan dari lembaga pembiayaan seperti perbankan, bantuan pemerintah atau bantuan lembaga-lembaga mitra lainnya.
“Melalui Sekolah Lapang para peserta juga dilatih memanfaatkan teknologi tepat guna yang relevan untuk peningkatan produksi serta proses nilai tambah produk yang bisa dilakukan. Nah, jika memang pada akhirnya aktivitas ekonomi produktif dapat dikembangkan menjadi sumber penghasilan tambahan, maka peserta juga dipersiapkan dengan pelatihan dan akses pemasaran bagi produknya,” katanya.
Disebutkan lagi, jika hal ini bisa terwujud, tentu masyarakat adat Dayak akan mampu memenuhi kebutuhan pendidikan anaknya, sekaligus mencegah kecenderungan orang tua menikahkan anak sedini mungkin karena himpitan ekonomi, yang malah memicu permasalahan rumah tangga pasangan muda seperti KDRT dan perceraian.
Demikian disampaikan praktisi dan pakar etika lingkungan Dr Sonny Keraf dalam diskusi panel yang digelar Lembaga Perempuan Dayak Nasional (LPDN) di Jakarta, Jumat (4/9/2025). Sesi diskusi ini dalam rangka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III dan Lokakarya Nasional (Loknas) 2025 yang secara khusus membahas “Penguatan Kelembagaan Masyarakat di Dalam dan di Sekitar Hutan”.
Sonny Keraf membahas secara khusus gagasan Perhutanan Sosial dan Pengembangan Sekolah Lapang. Sedangkan narasumber lain, seperti Direktur Jenderal Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan RI membahas Revitalisasi Model Perhutanan Sosial Petuk Bukit, Kota Palangka Raya.
Kemudian Prof Meutia Hatta mengulas Pendidikan Ekologi Berbasis Komunitas, serta Adian Napitupulu membahas Hutan dan Perempuan Kekuatan Bangsa.
Sonny Keraf menggambarkan himpitan kehidupan masyarakat Dayak tidak hanya karena kebijakan Pemerintah Pusat yang bertujuan baik menjaga lingkungan hidup tapi di lapangan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat Dayak. Menurut Sonny Keraf, “Tekanan lain adalah terdesaknya kehidupan masyarakat Dayak akibat kehadiran korporasi ekstraktif pertambangan dan perkebunan yang mengakuisisi tanah dan hak ulayat masyarakat Adat Dayak,” tegas mantan Menteri Lingkungan Hidup ini.
Sonny Keraf bahkan mengingatkan bahwa Program Perhutanan Sosial dengan Sekolah Lapang yang dirancang LPDN sesungguhnya merupakan langkah nyata pencapaian tujuan Pembangunan Berkelanjutan, sebagaimana diniatkan sebagai Sustainable Development Goals (SDGs), yang memadukan perlindungan lingkungan hidup (hutan khususnya dalam Perhutanan Sosial) dengan pencapaian tujuan-tujuan perlindungan sosial seperti pemenuhan kebutuhan pangan untuk mencegah kelaparan (no hunger) dan kemiskinan (no poverty), menjamin pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan, akses pendidikan (education for all),kesempatan kerja, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. (Rilis/Abdmanan)